Bandarlampung (ML Publisher)--“Lamun anak Sulaiman, kasihini aku Siti Fatimah,” demikian kira-kira bunyi sepenggal lantunan mantra bujang-gadis Lampung seperti diungkapkan Oki Laksito, staf di Museum Negeri Provinsi Lampung “Ruwa Jurai”.
Secarik kertas usang bergambar dan
bertuliskan aksara Lampung yang sudah uzur. Kertas ini menarik perhatian karena
bentuknya yang memanjang dan terdiri dari gambar maupun aksara Lampung. Berbeda
dengan kertas-kertas kuno lainnya.
“Ini dipakai sebagai mantra kuno,
yah semacam pelet, supaya orang yang kita sukai juga suka dengan kita,”
cerita Oki.
Naskah itu terdiri dari enam
halaman. Empat halaman pertama tergambar sosok laki-laki. Menurut Oki, si
pembuat naskah itu adalah perempuan. Ia harus menggambarkan kesukaan laki-laki
yang diincarnya ke kertas tersebut.
Maka, tergambarlah sosok laki-laki
itu empat halaman pertama yang menunjukkan si laki-laki hobi memancing, senang
berpesta, hingga pandai bergaul. Baru kemudian di dua sisa halaman
dituliskan mantra dalam aksara Lampung.
“Ini ditemukan di Desa Hanakau,
Lampung Barat,” tutur Oki.
Namun, ini bukan sekadar mantra. Ada makna mendalam di
baliknya. Baik naskah mantra bujang-gadis, maupun naskah kuno lainnya yang
ditulis di media kulit kayu, bambu, hingga daun lontar, banyak yang menggunakan
aksara Lampung. Ini membuktikan Lampung menjadi salah satu suku dari sembilan
suku di Indonesia
yang memiliki aksara.
**Dari Harimau Sampai Jalur
Sutera
Mantra bujang-gadis hanya satu dari
koleksi-koleksi menarik lainnya di museum ini. Di lantai satu sebelah kiri,
pengunjung dapat melihat sejarah alam dengan binatang-binatang langka yang
hidup di Lampung lengkap dengan efek suara suasana hutan.
Masih di ruangan yang sama, tampak
diorama letusan Gunung Krakatau di tahun 1883 yang menjadi legenda dunia.
Selanjutnya adalah ruang koleksi berupa menhir, arca, hingga fosil manusia
purba. Setelah itu beranjak ke ruangan sebelah kanan dari pintu masuk museum
tersebut.
Ruang sejarah klasik Hindu Buddha
mengawali pameran koleksi museum. Di sini, pengunjung bisa melihat prasasti
bungkuk dan prasasti Palas Pasemah yang merupakan tertua dan berasal dari abad
ke-7 Masehi pada masa Kerajaan Sriwijaya dan dipercaya sebagai cikal bakal
berkembangnya tradisi tulis.
Belanjut kemudian adalah ruangan
sejarah Islam yang menampilkan aneka koleksi bernuansa Islam seperti
kalirafi, prasasti, dan keramik. Islam diperkirakan masuk ke Lampung di abad
ke-16 Masehi. Selanjutnya adalah ruangan filologika yang berisikan
naskah-naskah kuno, salah satunya mantra bujang-gadis.
Selanjutnya adalah ruang sejarah
zaman kolonial yang menampilkan beragam senjata perang baik dari pihak Belanda
maupun berbagai senjata di nusantara. Salah satunya adalah pedang milik Radin
Inten II, pahlawan asal Lampung yang berjuang melawan kolonial.
Keramik-keramik dari China ,
Eropa, maupun Jepang, ditampilkan di ruang kramalogika. Sementara di ruang
numismatika dan heraldika, pengunjung bisa melihat uang kertas kuno hingga surat berharga dan stempel
yang pernah digunakan di Lampung.
Terakhir adalah ruang jalur sutra
yaitu jalur perdagangan dunia di abad empat sampai tujuh belas masehi. Jalur
ini melintasi Lampung sebagai penghasil kopi dan lada. Hingga kini, Lampung
masih menjadi pengekspor kopi terbesar di Indonesia .
**Pepadun dan Saibatin
Dua suku asli Lampung ditampilkan
di ruang pameran yang berada di lantai dua. Pepadun merupakan suku di
pedalaman, sedangkan Saibatin di daerah pesisir. Dalam ruang pameran,
pengunjung bisa melihat tradisi dua suku tersebut mulai dari kelahiran sampai
kematian.
Salah satu yang menarik adalah
tradisi serah sepi bilah atau asah gigi. Baik dari suku Pepadun maupun Saibatin
menerapkan tradisi tersebut. Serah sepi bilah merupakan tradisi meratakan gigi
yang memiliki makna pengendalian diri terhadap enam musuh dalam diri manusia.
Enam musuh yang dimaksud adalah
hawa nafsu berlebihan, sifat rakus, amarah, mabuk, kebingungan, dan iri hati.
Upacara tersebut diadakan saat si anak memasuki masa remaja. Tradisi
serah sepi bilah sudah ada sejak masa Hindu di Lampung.
Koleksi menarik lainnya adalah kain
tapis. Ya, kain tapis memang lekat pada masyarakat Lampung. Kain tapis
merupakan tenun ikat yang diberikan sulaman dengan motif-motif tertentu. Pada
suku Saibatin, kain tapis disebut sebagaik kain inuh.
Motif-motif yang hadir bisa berupa
pohon, lajur, riak gelombak dan binatang laut, tunas dan sulur daun, hingga
motif kapal. Masyarakat sekitar pantai barat Lampung atau daerah Krui menyebut
kain tenun dengan motif kapal sebagai istilah pelepal atau taber.
**Rumah tua
Tepat di bagian depan museum
terdapat rumah panggung tradisional khas Lampung. Rumah tua tersebut berasal
dari Desa Kenali, Lampung Barat. Oleh karena itu, rumah tersebut disebut
sebagai Rumah Kenali.
“Usianya sudah 325 tahun. Rumah itu
kita datangkan langsung dari Desa Kenali. Sebagian kayunya yang sebagai
fondasi kami ganti, tapi sisanya masih asli,” kata Oki.
Tak hanya rumahnya, lumbung pun
dibawa serta. Ada
hal unik dari lumbung tersebut. Di bagian pintu terdapat alarm tradisional.
Pencuri yang nekat membuka pintunya akan terkena panah beracun. Sebuah pasak
dipasang di depan pintu. Jika terinjak, maka panah meluncur.
“Tidak mematikan. Biasanya si
pencuri jadi kaku tangannya. Yang pasang alarm adalah anak laki-laki tertua di
rumah itu dan hanya si anak itu yang tahu di mana dia taruh pijakan pemicu
alarm. Bapaknya pun tidak tahu,” cerita Oki.
Berkeliling di museum ini memang
tak cukup hanya satu hari. Apalagi jika Anda dipanduk oleh petugas
museum. Oleh karena itu, pihak museum juga menyediakan aneka program menarik.
Dengan maksimal 10 orang, peserta bisa bebas menyentuh alat peraga yang
disediakan.
“Ada
lima paket yang
kami sediakan sesuai temanya, mulai dari masyarakat prasejarah, Hindu Buddha,
Islam, tentang tenun, dan tentang Radin Inten II. Inilah uniknya museum kami,
satu-satunya museum yang koleksinya bisa disentuh. The museum that you can touch
anything,” ungkap Oki berpromosi.
Memang, tidak semua bisa disentuh, melainkan hanya alat-alat
peraga tertentu saja. Tak heran semboyan yang dilontarkan pun “anything” bukan “everything”.
Oki menuturkan beberapa koleksi bisa disentuh karena proses konservasi tidak
menggunakan bahan kimia yang berbahaya bagi tubuh manusia.
Museum Negeri Provinsi Lampung
“Ruwa Jurai” bisa jadi salah satu museum provinsi terbaik di Indonesia. Museum
yang baru saja mengalami proses revitalisasi tersebut, mendapatkan wajah baru
di bulan Juli kemarin.
Museum ini hadir dengan tampilan
yang lebih rapi dan nyaman. Tata cahaya setiap koleksi yang dramatis dan
koleksi dibagi seturut masa maupun sesuai budaya, hingga mudah dipahami
pengunjung. Belum lagi ada efek suara di salah satu ruangan.
Di bagian depan, peta menunjukkan
pembagian ruangan. Jangan lupa berbelanja suvenir di area masuk. Layar televisi
tak sekadar pajangan, namun menampilkan dokumentasi tentang isi museum maupun
tentang Lampung itu sendiri.
Semuanya tampil apik dan menawan.
Jangan kaget dengan harga tiket masuknya, hanya Rp 4.000 untuk dewasa dan Rp
500 untuk anak-anak. Museum ini hanya buka hingga pukul 14.00 dari pukul 08.00.
Khusus di hari Jumat, buka dari pukul 08.00 hingga 10.30.
Sementara untuk jasa paket
pembelajaran museum hanya Rp 2.500 per orang untuk tiga jam pelajaran. Jika
Anda penggemar sejarah maupun budaya, museum ini wajib dikunjungi. Pesonanya
akan “memelet” Anda layaknya mantra bujang-gadis Lampung. (N)
0 komentar:
Posting Komentar