Bandarlampung (ML Publisher)
Vonis tiga tahun penjara yang disematkan Pengadilan Negeri
Kelas IA Tanjungkarang terhadap DK (16), membuat masa depan pelajar salah satu
SMP di Kota Bandarlampung itu menjadi tak menentu. Inilah konsekuensi dari
perilaku remaja yang kebablasan.
Berawal dari keinginan DK (16) berpacaran lebih jauh dari
biasanya, membuat DK berurusan dengan hukum. DK didakwa melakukan kekerasan
atau ancaman kekerasan, memaksa korban SW (15), pacarnya, melakukan
persetubuhan.
Karenanya, Ida Ratnawati, Ketua Majelis Hakim Pengadilan
Negeri (PN) Kelas IA Tanjungkarang, Kamis (29/11), memvonis DK dengan hukuman
tiga tahun penjara. Anak di bawah umur itu juga dikenai hukuman denda sebesar
Rp60 juta, subsidair 30 hari kurungan.
Majelis Hakim meyakini, perbuatan terdakwa melanggar Pasal
81 ayat (2) UU No.23/2002 tentang Perlindungan Anak.
Terungkap di persidangan, antara DK dengan korban SW
sebenarnya merupakan pasangan kekasih. Mereka sudah berpacaran cukup lama.
Pengakuan DK, antara keduanya saling mencintai.
Pada tanggal 18 Agustus 2012 lalu, DK mengajak SW ke
rumahnya, di Kecamatan Tanjungkarang Pusat. Rumah dalam keadaan sepi. DK pun
memberanikan diri mengajak pacarnya itu masuk ke dalam. Mereka duduk di sofa
ruang tamu.
Setelah ngobrol panjang lebar, DK mengajak SW melakukan
hubungan layaknya suami istri. Permintaan itu ditolak. Tapi DK langsung
memeluknya, dan membuka pakaian SW. Perbuatan DK, dibuktikan oleh hasil visum
RSUAM Lampung No.57/3787a/4.13/IX/2012, yang ditandatangani oleh dr Jaisa
Muliati.
Jaksa Penuntut Umum mendakwa DK, telah melakukan unsur tipu
muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak melakukan persetubuhan.
**Hak-hak Anak
Direktur Lembaga Advokasi Anak (LADA), Dede mengatakan,
putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim pastinya sudah memiliki dasar
pertimbangan yang menguatkan. ”Yang pasti, hakim sudah memutus terdakwa dengan
segala pertimbangan yang baik,” ungkapnya, Kamis (29/11).
Dia menambahkan, walaupun terdakwa DK divonis tiga tahun
penjara dan harus berada di dalam sel, dia tetap memiliki hak-haknya sebagai
seorang anak. Apalagi, statusnya seorang pelajar SMP. “Terpenting, terdakwa
masih mendapatkan hak-haknya. Seperti hak bertemu dengan keluarga,” jelas dia.
Mengenai hak pendidikan, Dede mengatakan, terdakwa juga harus
mendapatkan hak tersebut. “Hak pendidikannya harus dipenuhi juga, jangan sampai
haknya terabaikan. Kalau dia tidak mendapat hak pendidikan, nantinya dapat
merusak masa depan dia,” ujarnya. (*)
0 komentar:
Posting Komentar